Minggu, 20 Juni 2010

ASAS-ASAS HUKUM

ASAS-ASAS HUKUM

BAB I.
PENDAHULUAN
Ilmu hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh hakim dan pembuat undang-undang. Dalam mempelajari Ilmu Hukum maka kita harus memulai dari pengantar ilmu hukum di mana materi ini merupakan ilmu pengetahuan dasar yang harus dipelajari untuk menuju kearah cabang-cabang ilmu hukum yang sebenarnya.
Dalam pengantar ilmu hukum yang dipelajari adalah pokok-pokok atau dasar-dasar ilmu hukum secara universal karena merupakan sebuah pengantar yan membahas pengertian ilmu hukum, pengertian pengantar ilmu hukum, disiplin hukum, kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, sistem hukum, tujuan hukum dan lain-lain.
Tulisan kami ini mencoba membahas tentang asas-asas dan sistem hukum, walau kami sadari masih jauh dari kesempurnaan baik dari isi dan penulisan oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang positif guna melengkapi tulisan kami ini dan semoga tulisan ini dapat menjadi refrensi bagi kita semua dalam mempelajari dan memahami ilmu hukum.


BAB II.
PERMASALAHAN

Kalau kita berbicara tentang hukum, maka akan timbul pertanyaan apakah masyarakat telah mengerti tentang hukum (Sumber-sumber hukum, tujuan hukum, asas hukum, sistem hukum dll) ? bagaimana cara pelaksanaan hukum itu? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri.
Dapatlah dibayangkan kalau tidak dimungkinkan adanya pengecualian atau penyimpangan maka sistem hukumnya akan kaku. Ada asas yang berbunyi "lex superior derogat legs inferiors", yang berarti bahwa peraturan hukum yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan hukum yang lebih rendah, apabila terjadi konflik. Di dalam PP no. 45 tahun 1990 ada ketentuan yang bertentangan dengan UU no. 1 tahun 1974, tetapi dalam praktek ternyata UU no. I tahun 1974 dikalahkan oleh PP no. 45 tahun 1990. Menurut asasnya maka undang-undanglah yang harus dimenangkan kalau terjadi konflik antara undang-undang dengan peraturan pemerintah. Di sini kepas¬tian hukum harus mengalah terhadap kepentingan yang lebih luhur. Tidak jarang terjadi konflik antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kalau kita terlalu berpegang pada kepastian hukum, maka keadilan atau kemanfaatannya dikorbankan. Kalau kita terlalu berpegang pada kemanfaatan, maka keadilan dan kepastian hukum¬nya dikorbankan dan begitu selanjutnya.
Asas hukum itu merupakan sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat suatu cita-cita yang hendak diraihnya. Bukankah tujuan hukum itu kesempurnaan atau ketertiban masyarakat : suatu cita-cita atau harapan. Asas hukum itu memberi dimensi etis kepada hukum (Nieuwenhuis, 1979 : 52). Oleh karena itu pula asas hukum itu pada umumnya merupakan suatu persangkaan (presumption), yang tidak menggambarkan suatu ke¬nyataan, tetapi suatu ideaal atau harapan. "Setiap orang dianggap tahu akan undang-undang, kenyataannya tidak demikian, bahkan tidak mustahil misalnya kalau ada hakim di Irian yang belum tahu adanya undang-unddng baru, karena lembaran negaranya belum sampai di irian. "Res judicata pro veritate habetu-r", putusan hakim harus di¬anggap benar; kalau diajukan saksi palsu dan hakim memutus perka¬ranya berdasarkan saksi palsu tersebut, jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi (itu kalau dimintakan banding atau kasa¬si). Orang yang menguasai benda bergerak secara nyata harus diang¬gap sebagai pemiliknya, yang kenyataannya belum tentu demikian, sampai dibuktikan sebaliknya (apa yang lahirnya tampak benar untuk sementara waktu harus dipertahankan demikian sampai terbukti lain demi kepastian hukum). Ini semuanya tidak lain adalah demi keter¬tiban masyarakat dan kepastian hukum dan seperti yang telah di-kemukakan di atas merupakan harapan atau cita-cita manusia.
Antara lembaga hukum dari berbagai sistem sering terdapat per¬bedaan-perbedaan. Peraturan yang diketemukan dalam sistem yang satu tidak selalu dapat begitu saja diterapkan dalam sistem yang lain. Dalam hukum perdata misalnya mayat manusia tidak dapat menjadi subyek hukum (Pas. 499 KUHPerd), sehingga tidak ada yang punya. Sebaliknya dalam hukum pidana mayat manusia itu milik ahli waris¬nya, sehingga orang yang mengambil mayat manusia secara melanggar hukum berarti mengambil mayat itu dari pemiliknya, yaitu ahli warisnya, dengan demikian ia melakukan pencurian mayat (HR 25 Joni 1946, lihat Sudikno Mertokusumo, 1988 : 105, Algra/Janssen, 1981 : 69).


BAB III.
PEMBAHASAN

ASAS HUKUM
Tidak mudah untuk memberikan pengertian tentang apakah asas atau prinsip hukum itu? karena ada beberapa pendapat tentang hal ini. Secara umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam satu masyarakat menurut pendapat Bellefroid. )
Menurut Van Eikema Hommes asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma¬-norma hukum yang konkrit, akan tetapi dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut, dengan kata lain asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukunm positif. )
The Liang Gie berpendapat bahwa asas hukum adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus sebagai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. )
Sedangkan menurut P. Scholten asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. )
Lain lagi pendapat Van Der Velden, yang mengatakan bahwa asas hukum adalah tipe putusan yang daapat digunakan sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas satu nilai atau lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasi. )
Jadi asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum kongkrit, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya yang merupakan latar belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif. . )
Asas hukum itu bersifat dinamis, namun menurut Scholten (dalam G.J. Scholten, 1949 : 403) ada asas hukum yang bersifat universal yang berlaku kapan saja dan di mana saja, tidak terpengaruh waktu dan tempat. Disebutnya ada lima asas hukum universal, yaitu asas kepribadian, asas persekutuan, asas kesamaan, asas kewibawaan, dan asas pemisahan antara baik dan buruk. Empat asas hukum universal yang pertama terdapat dalam setiap sistem hukum. Tidak ada sistem hukum yang tidak mengenal ke-empat asas-asas hukum universal tersebut. Ada kecenderungan dari masing-masing dari ke-empat asas hukum universal yang pertama itu untuk menonjol dan mendesak yang lain. Ada suatu masyarakat atau masa tertentu yang menghendaki asas hukum universal yang satu dari¬pada yang lain. Ke-empat asas hukum universal yang pertama didu¬kung oleh pikiran bahwa dimungkinkan memisahkan antara baik dan buruk (asas hukum umum yang ke-lima). Kaedah hukum adalah pedoman tentang apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seyo¬gyanya tidak dilakukan. Ini berarti pemisahan antara yang baik dan buruk.
Dalam asas kepribadian, manusia menginginkan adanya kebe¬basan individu, ingin memperjuangkan kepentingannya. Asas kepri¬badian itu menunjuk pada pengakuan kepribadian manusia, bahwa manusia adalah subyek hukum, penyandang hak dan kewajiban. Tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Manusia ingin bebas memperjuangkan hidupnya. Asas hukum ini pada dasarnya terdapat di seluruh dunia, walaupun bentuknya bervariasi satu sama lain.
Dalam asas persekutuan yang dikehendaki adalah suatu kehidupan bersama yang tertib aman dan damai, persatuan dan kesatuan serta cinta kasih. Manusia ingin hidup bermasyarakat. Asas hukum ini ter¬dapat di seluruh dunia.
Asas kesamaan menghendaki setiap orang dianggap sama dalam hukum. Yang 6) dianggap adil ialah apabila setiap orang memperoleh hak yang sama, setiap orang minta diperlakukan sama, tidak dibeda¬-bedakan. Equality before the law. Perkara yang sama harus diputus sama. Keadilan merupakan realisasi asas kesamaan ini. Asas hukum ini dikenal sepanjang umat di mana-mana. Di dalam masyarakat yang primitifpun sejak dulu di mana-mana asas hukum ini kita jumpai.
Asas kewibawaan memperkirakan atau mengasumsikan adanya ketidak-samaan. Di dalam masyarakat harus ada seseorang yang memimpin, mentertibkan masyarakat, yang mempunyai wibawa atau diberi kewibawaan yang mempunyai wewenang dan kedudukan yang lain dari pada orang kebanyakan.
Asas hukum dapat dibagi dua, yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus.
Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum seperti asas restitutio in integrum, asas lex posteriori derogat legi priori, asas bahwa ape yang lahirnya tampak sebagai benar (sah), untuk sementara harus dipertahankan demikian sampai diputus lain oleh pengadilan, demi kepastian hukum, asas nebis in idem.
Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam, bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya, yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti pacta suet servanda, asas konsensualisme, asas yang tercantum dalam pasal 1977 KUHPerd, asas praduga tak bersalah (baca lebih lanjut mengenai pembagian asas-asas hukurn. v. Eikema Hommes, 1980 62). . )
Apabila kita membicarakan asas hukum, maka kita membicarakan unsur yang penting dan pokok dalam dari peraturan hukum, asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita menyebutnya demikian oleh karena ia nerupakan landasan yang penting bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum layak disebut alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum. . )
Ratio logis ialah usaha mencari makna dari suatu peraturan dengan mengangkat pengertian suatu peraturan hukum kepada tingkat yang lebih tinggi sehingga dijumpai perumusan yang lebih padat yang sekaligus mengandung penjelasan mengapa suatu peraturan itu dikeluarkan.
Contoh :
Pengertian hukumnya
Pengertian pads tingkat pertama Pengertian yang didapat sesudah ditarik lebih tinggi
"Setiap perbuatan yang tidak benar Menurut hukum, yang menimbulkan kerugian pads orang lain, menyebabkan orang yang melakukan perbuatan itu diharuskan membayar ganti rugi" "Dengan adanya perbuatan yang tercels, disitu barns ada penggantian kerugian"
Pengertian-pengertian yang telah ditemukan itu masih bisa terus ditarik pada peringkat yang lebih tinggi dan dengan demikian secara terus menerus, sampai kita tiba pada suatu titik yang keadaannya berbeda dari pengertian-pengertian sebelumnya. Kita sampai pada suatu penemuan yang bersifat serta merta, artinya ia tidak bisa dijelaskan pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Salah satu contohnya adalah : "Dimana ada kesalahan, disitu ada penggantian kerugian" inilah yang disebut asas hukum tersebut.
Jadi asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit, melainkan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal seperti; setiap orang dianggap tahu akan undang-undang, asas indubio proreo, asas res judicata pro veritate habetur, asas lex pasteriori derogat legi priori dan sebagainya. Akan tetapi tidak jarang asas hukum dituangkan dalam peraturan yang konkrit seperti misalnya; asas the presumption of innocence yang terdapat dalam pasal 8 Undang-undang No.14 Tahun 1970 dan asas nullum delictum nujla poena sine praevia lage poenali seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. )Kalau peraturan hukum yang konknt itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung.
Asas hukum mempunyai dua fungsi:
1. Fungsi dalam hukum : mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim (ini merupakan fungsi yang bersifat mengesahkan) serta mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak.
2. Asas dalam ilmu hukum : hanya bersifat mengatur dan eksplikatif (menjelaskan), tujuannya adalah memberi ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak termasuk hukum positif.
Sifat instrumental asas hukum ialah bahwa asas hukum mengakui adanya kemungkinan-kemungkinan penyimpangan, sehingga membuat sistem hukum menjadi luwes.

SISTEM HUKUM
Mempelajari ilmu hukum dengan hanya mempelajari kaedah hukumnya saja belumlah cukup. Mengerti kaedah hukumnya belum¬lah berarti menguasai hukumnya. Di samping kaedah hukumnya harus pula dipelajari sistem hukumnya. )
Sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaedah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang ter¬organisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan.
Dalam membicarakan hukum sebagai satu sistem kita sebaiknya mulai dari pembicaraan tentang sistem itu sendiri, pengertian tentang sistem karena bagaimanapun suatu sistem akan tunduk pada batasan dan ciri-ciri sistem juga.
Sistem mempunyai dua pengertian yang penting dikenali. Sekalipun dalam pembicaraannya keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja. Yang pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatatanan di sini menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua sistem sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu (Shorde & Voich, 1974 :121-13).
Pemahaman yang umum mengenai sistem hukum mengatakan suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu dengan yang lainnya dimana bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut (Shorde a Voich, 1974 :122). Apabila sistem ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian itu maka pengertian dasar yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut :
1. Sistem itu berorientasi pada tujuan.
2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Wholism).
3. Suatu sistem berintraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem).
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi).
5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).
6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).
Masing-masing bagian atau unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian atau unsur-unsur lain dan dengan keseluruhan¬nya seperti mozaik atau "legpuzzle". Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain tetapi kait-mengait. Arti penting¬nya tiap bagian terletak justru dalam ikatan sistem, dalam kesatuan, karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. Di luar sistem atau kesatuan, masing-masing bagian tidak mempunyai arti. Sebagai contoh misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat yang pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam KUHPerd saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUHP. Dalam putusannya tanggal 30 Januari 1959 (NJ 1959, 548) HR berpendapat, bahwa dari pasal 1269 BW (1233 KUHPerd), yang menentukan bahwa perikatan timbul dari perjanjian atau undang-undang, tidak dapat disimpulkan bahwa setiap perikatan yang tidak lahir dari perjanjian secara langsung harus mendasarkan pada salah satu pasal dalam undang-undang. )
Di antara bagian-bagian atau unsur-unsur dalam sistem terjadi hubungan khusus yang merupakan tatanan yang khusus pula yang disebut struktur. Struktur menentukan identitas sistem, sehingga unsur-¬unsur masing-masing dapat berubah, bahkan diganti tanpa mempengaruhi kontinuitas sistem. (Komen, 1982:51). Sebagai contoh dapat dikemukakan bahkan peraturan berubah, undang-undang diganti, yurispudensi selalu berkembang, tetapi sistemnya tetap sama.
Seperti yang telah dikemukakan di atas sistem, termasuk sistem hukum, terdiri dari suatu keseluruhan kompleks unsur-unsur, yaitu peraturan, putusan, pengadilan, lembaga atau organisasi dan nilai¬-nilai.
Sistem terdapat dalam berbagai tingkat. Dengan demikian ter¬dapat berbagai sistem. Keseluruhan tata hukum nasional dapat di¬sebut sistem hukum nasional. Kemudian masih dikenal sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara. Selanjutnya masih dikenal sistem hukum keluarga, sistem hukum benda, hukum perikatan dan sebagainya. Ada sistem ada sub sistem ada sub-sub¬sistem dan sebgainya. )
Ada yang berpendapat bahwa sifat sistematis hukum itu merupa¬kan kenyataan yang melekat pada sifat hukum itu sendiri (”given”) dengan mengatur perilaku manusia dengan kaedah, maka hukum memberi kepastian dalam hubungan antar manusia. Ini berarti bahwa dari setiap perilaku haruslah pasti apakah perilaku itu dilarang atau dibolehkan dan apa akibatnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa sistematik hukum itu suatu perintah kepada sarjana hukum yang menekuni hukum. sistematik itu merupakan kreasinya (Kraan, 1981:4, 5).
Sistem adalah rekayasa pembagian yang diadakan dalam hukum merupakan alas bantu yang tidak boleh menjadi nilai yang absolut atau merupakan axioma (Algra/Janssen, 1981:71). 71).
Untuk dapat berfungsi sebagai kesatuan yang berdiri sendiri, maka sebagai sistem hukum harus dapat dibedakan dari sistem-sistem hukum lainnya dan dari jenis-jenis sistem normatif lainnya, seperti sistem agama, moral sopan santun dan sebagainya. Dua faktor yang penting yang ikut serta menentukan sistem hukum guna pembatasan ini ialah ruang lingkup berlakunya dan sumber-sumbernya (Kraan, 1981 : 35).
Sistem bukanlah merupakan kesatuan yang logis tertutup, tetapi merupakan sistem terbuka.
Pada umumnya sistem hukum itu ada hubungannya timbal balik dengan lingkungannya, sehingga bersifat terbuka, berubah dan mudah diserang, tetapi karena struktur yang memberi ciri pada sistem, maka dapat bertahan sebagai kesatuan (Kraan, 1981 : 10).
Hukum itu pada dasarnya merupakan sistem terbuka, tetapi di dalam sistem hukum itu terdapat sistem terbuka dan sistem tertutup. )
Sistem terbuka mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya : obyek maupun subyek yang bukan merupakan bagian sistem mempunyai pengaruh terhadap unsur sistem.
Pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan-peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk perbedaan interpretasi. Karena interpretasi itu maka peraturan-peraturan itu selalu berubah. Scholten mengatakan bahwa hukum adalah suatu sistem, yang oleh karena merupakan karya manusia menunjukkan kekurangan-kekurangan atau ketidaklengkapan, tetapi menurut sifat¬nya tidak selesai (tuntas) atau tidak dapat tuntas, karena merupakan dasar putusan-putusan yang menambahkan sesuatu yang baru pada sistem (1934 : 102).
Di dalam sistem hukum itu ada bagian-bagian yang sifatnya ter¬tutup. Ini berarti bahwa pembentuk undang-undang tidak memberi kebebasan untuk pembentukan hukum, misalnya sistem tertutup dari hak-hak absolut, dalam hukum pidana adanya sistem tertutup mengenai batasan delik dan kaedah sanksi, hakim tidak dapat men-ciptakan delik baru maupun sanksi-sanksi baru. Tertutup dalam hal ini tidak berarti bahwa peraturannya sama sekali tidak boleh ditafsir¬kan. Hukum benda dan hukum keluarga sistemnya adalah tertutup. Sebaliknya hukum perianjian sistemnya terbuka. Ini berarti bahwa jumlah dan sifat lembaga hukum dalam hukum benda dan hukum keluarga sudah pasti dan tetap. Kecuali pembentuk undang-undang tidak seorangpun boleh menciptakan hak-hak kebendaan baru. Perkembangan peraturan hukum yang sistemnya terbuka lebih pesat daripada yang perkembangan peraturan hukum yang sistemnya tertutup (lihat lahirnya UU no. I th 1974).
Dikenal adanya sistem konkrit dan abstrak )
Sistem konkrit adalah sistem yang dapat diraba, yang unsur-unsurnya bersifat materiil seperti atom, suatu organisme, komputer. Sistem. hukum bukanlah merupakan sistem konkrit, tetapi merupakan hasil pemikiran kita. Unsur-unsur yang membentuk sistem adalah kaedah atau putusan pengadilan tentang apa yang seharusnya dan bukan tentang bagaimana sesuatu itu berlaku atau bekerja. Ini disebut sistem normatif.
Sistem abstrak ialah yang unsur-unsurnya bersifat immaterial yang tidak dapat diraba; merupakan kesatuan pemikiran. Sistem hukum merupakan sistem abstrak.
Termasuk kategori abstrak ialah sistem normatif yang merupa¬kan kelompok tersendiri. Unsur-unsur dalam sistem normatif terdiri dari kaedah, peraturan yang bersifat preskriptif, yaitu ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan, yaitu sistem hukum, sistem kaedah agama dan kesusilaan.
Di samping itu masih dikenal sistem konseptual yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak dapat diraba, tetapi yang pemikirannya mengenai kesatuan didasarkan atas teori tentang saling berhubungan dalam kenyataan. Pada sistem konseptual masalahnya bukan apakah ada, tetapi apakah berlaku (Komen, 1982 : 2, 48).
Ciri-ciri sistem
Sistem hukum terikat pada waktu dan tempat. Ina berarti bahwa suatu sistem yang pada suatu saat berlaku, lama-lama tidak sesuai lagi dengan perubahan masyarakat. Akan tetapi sistem itu dapat disesuaikan. Sama sekali memperbaharui suatu sistem tanpa tindakan¬-tindakan yang tegas kini hampir tidak mungkin (Algra/Janssen, 1981: 73).
Sistem hukum bersifat kontinu, berkesinambungan dan otonom.
Fungsi sistem hukum adalah menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan dalam masyarakat (restitutio in integrum).
Setiap sistem termasuk sistem hukum mengenal pembagian di dalamnya. Setiap bagian atau unsur mempunyai hubungan satu sama lain dan dengan seluruhnya. Masing-masing bagian tidak boleh bertentangan satu sama lain. Telah dikemukakan di muka bahwa arti pentingnya suatu bagian atau unsur adalah justru dalam sistem itu. Di luar sistem atau kesatuan, bagian atau unsur tidak mempunyai arti sama sekali.
Pembagian atau klasifikasi merupakan ciri sistem hukum. Untuk dapat mengadakan pembagian atau klasifikasi harus ada kriterium atau tolok ukurnya. Oleh karna itu kriterium merupakan prinsip sebagai dasar pembagian. Klasifikasi hukum menjadi hukum materiil (sub¬stantif) dan hukum formil (ajektif) menggunakan fungsi hukum sebagai kriterium. Hukum materiil adalah hukum yang mengatur substansi atau isi hubungan antara perorangan: hukum yang mengatur hak dan kewajiban. Hukum formil mengatur cara melaksanakan atau menegakkan hukum materiil. Berdasarkan kriterium waktu berlaku¬nya, hukum dibagi menjadi ius constitutum, yaitu hukum yang ber¬laku di masa sekarang dan ius constituendum, yaitu hukum yang dicifa-citakan (masa mendatang). Menurut kriterium daya kerjanya hukum dibagi menjadi hukum yang bersifat memaksa (imperatif) dan yang bersifat melengkapi (fakultatif).
Sistem mempunyai sifat konsisten, ajeg, konsisten dalam menghadapi konflik. Di dalam sistem hukum terjadi interaksi antara unsur-¬unsur atau bagian-bagian. Interaksi memungkinkan terjadinya kon¬flik. Tidak jarang terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain, antara peraturan perundang-undangan dengan putusan pengadilan, antara peraturan perundang-undangan dengan hukum kebiasaan, antara putusan pengadilan dengan hukum kebiasaan. Sistem hukum tidak menghendaki adanya konflik antara unsur-unsur atau bagian-bagian. Kalau terjadi konflik maka tidak akan dibiarkan berlarut-larut. Hal ini secara konsisten diatasi oleh sistem hukum di dalam sistem hukum dengan menyediakan asas-asas hu¬kum. Maka dikatakan bahwa sistem adalah suatu kesatuan yang di dalamnya telah tersedia jawaban atau pemecahannya atas segala per¬soalan yang timbul di dalam sistem. Apabila terjadi konflik antara undang-undang dengan undang-undang maka tersedialah asas lex posteriori derogat legi priori (kalau terjadi. konflik antara undang¬undang yang lama dengan yang baru, dan undang-undang yang baru tidak mencabut undang-undang lama maka yang berlaku ialah undang-undang yang baru) atau lex superior derogat legi inferiors (kalau terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatannya maka yang tingkatannya tinggilah yang berlaku). Kalau terjadi konflik antara undang-undang dengan putusan peng¬adilan maka tersedia asas res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar). Kalau terjadi konflik antara undang-undang dengan hukum kebiasaan mengenai materi yang bersifat pelengkap maka hukum kebiasaanlah yang harus didahulukan.
Sistem hukum bersifat lengkap, yaitu melengkapi kekosongan, kekurangan dan ketidak-jelasan hukum. Peraturan perundang-undang¬an itu sifatnya tidak lengkap. Tidak ada dan tidak mungkin ada per¬aturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya sifatnya serta jelas sejelas-jelasnya. Tidak ada peraturan perundang¬-undangan yang dapat mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara tuntas, lengkap clan jelas, karena kegiatan kehidupan manusia sangat luas, baik jenis maupun jumlahnya. Ketidak-lengkapan, keti¬dak-jelasan atau kekosongan hukum itu diatasi oleh sistem hukum itu sendiri dengan penemuan hukum.
Sistem hukum mempunyai konsep fundamental. Suatu konsep dasar yang digunakan sebagai dasar konsep-konsep selanjut¬nya tanpa penjelasan lebih lanjut. Konsep fundamental ini erat sekali hubungannya dengan bahasa. Perjanjian, peraturan perundang-undang¬an, putusan pengadilan itu semuanya dirumuskan dengan bahasa. Juga acara di persidangan dan pelaksanaan hukum lainnya dapat dilihat sebagai proses yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunika¬si. Dalam bahasa hukum Indonesia kata "manusia" merupakan istilah biologis, sedangkan kata "orang" merupakan pengertian yuridis, Orang adalah penyandang hak dan kewajiban atau subyek hukum yang mem¬punyai kewenangan hukum. Asas yang dianut di Indonesia adalah bahwa setiap manusia adalah orang atau subyek hukum (pas. 3 KUH¬Perd), suatu konsep dasar yang digunakan sebagai dasar konsep-kon¬sep selanjutnya. Contoh-contoh lain misalnya ialah hak, kewajiban, sanksi dan sebagainya (lihat selanjutnya Bos. tanpa tahun : 7). )
Hukum sebagai Sistem
Adanya ikatan oleh asas-asas hukum itu, maka hukumpun merupakan suatu sistem, peraturan peraturan hukum yang berdiri sendiri lalu terikat dalam suatu susunan kesatuan disebabkan karena mereka bersumber pada satu induk penilaian etis tertentu. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen dengan jelas sekali menunjukkan keadaan yang demikian itu. Kelsen mengatakan bahwa agar ilmu hukum itu benar-benar memenuhi persyaratan suatu ilmu maka ia harus mempunyai obyek yang bisa ditelaah secara empirik dan dengan menggunakan analisis yang logis dan rasional. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka tidak ada lain kecuali menjadikan hukum positif sebagai objek studi. Yang dimaksud dengan hukum positif disini adalah tatanan hukum mulai dari hukum dasar sampai kepada peraturan-peraturan yang paling kongkrit atau individual. Namun demikian, kelsen juga mengatakan, bahwa semua peraturan yang merupakan bagian dari tatanan tersebut masih bersumber pada tata nilai dasar yang mengandung penilian-penilaian etis. Semua peraturan yang ada harus dikembalikan kepada nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu Kelsen secara konsekwen menghendaki agar objek hukum itu bersifat empiris dan bisa dijelaskan secara logis.
Alasan lain untuk mempertanggungjawabkan bahwa hukum itu merupakan suatu sistem adalah sebagai berikut (Dias, 1976 : 696-700). Pertama, suatu sistem hukum itu bisa disebut demikian karena ia bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan belaka, kaitan yang mempersatukannya sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian itu adalah : masalah keabsahan. Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber atau sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi dan kebiasaan, sumber-sumber yang demikian dengan sendirinya melibatkan kelembagaan seperti pengadilan dan pembuat undang-undang. Ikatan sistem itu tercipta pula melalui praktek penerapan peraturan-peraturan hukum itu. Praktek inin menjamin terciptanya susunan kesatuan dari peraturan-peraturan tersebut dalam dimensi waktu.
Sistem Hukum Romawi Jerman.
Sistem Romawi Jerman adalah sistem hukum yang dipakai di Indonesia, yang lebih kita kenal dengan Civil Law System, yang kalau kita terjemahkan secara harfiah adalah sistem hukum sipil. Sistem hukum ini tidak bisa dilepaskan dari hukum Romawi Kuno sebagai modalnya. Tetapi kita juga tidak bisa mengatakan bahwa sistem hukum Romawi Jerman yang kita kenal sekarang sepenuhnya mencerminkan ciri Romawinya. Sistem hukum ini mulai muncul pada abad 13 dan sejak itu senantiasa mengalami perkembangan, perubahan dan menjalanu evolusi. Selama evolusi ini mengalami penyempurnaan, yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya yang berubah. Oleh karena itu kita tidak bisa menyamakan begitu saja sistem hukum Romawi Jerman ini dengan hukum Romawi, sekalipun ia memang kelanjutan hukum tersebut. Dalam evolusinya kemudian banyak dimasuki oleh unsur-unsur yang datang dari luar Romawi.
Hukum Romawi Jerman dibentuk pada di Eropa pada abad ke-13, dimana kita ketahui abad ke-14 sampai ke-17 disebut sebagai masa kebangunan kembali atau Renaissance. Pada kurun itu orang dibangkitkan kegairahannya untuk mempelajari kembali kebudayaaan kuno, kebudayaan Yunani dan Romawi. Pengkajiannya juga dilakukan odi lingkungan universitas dengan bahan dasar untuk pengajaran hukum terdiri dari hukum Romawi dan hukum Gereja, dimana pada abad ke-12 dan ke-13 adalah masa penggodogan sistem hukum Romawi Jerman. Pada masa itu tentu kita belum dapat berbicara mengenai sistem hukum yang penuh dan lengkap. Hukum Romawi yang asli telah dirusak, metoda yang dipakai para ahli hukum Romawi juga dicampakkan, hukum romawi yang sekarang hendak dibawa untuk mampu menghadapi perkembangan jaman. Orang berusaha untuk melanjutkan, menyempurnakan dan membikin hukum itu lebih lengkap, hukum Romawi memang dipakai tetapi hanya digunakan sebagai modal untuk menemukan peraturan yang dicocokkan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat pada zaman itu.
Karya pembaharuan dan perintisan yang dilakukan oleh universitas makin jelas manakala kita menyadari betapa pengaturan masyarakat yang ada pada waktu itu. Kita tidak menjumpai tata hukum yang menjadi induknya, melainkan suasana yang semerawut (chaotic), penuh ketidak pastian terkotak kotak disana sini. Disini universitas mengambil pimpinan dengan mengajarkan suatu hukum ideal yang berada diatas hukum lokal, enam ratus tahun lamanya universitas berjuang untuk suatuy model hukum yang berkeadilan.
Dalam hubungannya dengan usaha yang dilajksanakan di dalam kalangan universitas tersebut, dominasi dari pemikiran mazhab hukum alam sungguh besar. Mazhab ini menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal. Hal ini berbeda sekali dengan pemikiran hukum yang bertolak dari prosodur yang tidak jelas asal usulnya yang menekankan pada cara-cara inrasional. Dengan bersenjatakan akal tersebut mereka melakukan konsulidasi terhadap evolusi sistem Romawi dan secara sistematis membangun suatu hukum yang mampu untuk dipakai pada kehidupan diabad ke delapanbelas.

BAB IV.
KESIMPULAN

Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut (bandingkan dengan Scholten dalam G.J. Scholten, 1949 : 402). Ini berarti menunjukkan pada kesamaan-kesamaan yang konkrit itu dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum yang karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada peristiwa konkrit. Asas hukum diketemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat maliankan tersirat dalam kaidah atau peraturan hukum konkrit.
Asas hukum mempunyai dua landasan (Nieuwenhuis, 1979: 11). Pertama asas hukum itu berakar dalam kenyataan masyarakat dan kedua pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Penyatuan faktor rill dan idiil hukum ini merupakan fungsi asas hukum.
Kecuali itu asas hukum mempunyai fungsi dalam hukum dan dalam ilmu hukum (baca juga Klanderman, 1983 : 126). Fungsi asas hukum dalam hukum menurut Klanderman bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Ber¬sifat mengesahkan karena mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim. Akan tetapi di samping itu fungsi asas hukum dalam hukum adalah melengkapi sistem hukum : membuat sistem hukum luwes. Dalam kita mempelajari ilmu hukum asas hukum mempermudah dengan memberi ikhtisar. Asas hukum dalam ilmu hukum hanya bersifat mengatur dan eksplikatif.
Asas hukum tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi dalam banyak hal juga menciptakan satu sistem : satu sistem, yang tidak akan ada tanpa asas itu.
Karena sifatnya yang abstrak, maka asas hukum itu pada umum¬nya tidak dituangkan dalam peraturan atau pasal yang konkrit. Kalau peraturan hukum konkrit itu dapat secara langsung diterapkan kepada peristiwanya yang konkrit, maka asas hukum karma bersifat abstrak tidak dapat diterapkan secara langsung kepada peristiwa konkrit.
Dapatlah disebutkan beberapa asas hukum yang tidak dituang¬kan dalam bentuk peraturan konkrit seperti "point d'interet point d’action" (siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat meng¬ajukan gugatan), "restitutio in integrum" (pengembalian kepada keada¬an semula), "in dubio pro reo" (dalam hal keragu-raguan hakim harus memutuskan sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa),"res judicata pro veritate habetur" (apa yang diputus hakim harus dianggap benar), "setiap orang dianggap tahu akan undang-undang", "perlindungan terhadap pihak ketiga yang beriktikad balk".
Meskipun demikian ada pula asas hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit atau pasal. Beberapa contohnya adalah seperti berikut: "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" (pas. 1 ayat 1 KUHP), "praduga tak bersalah" ("presump¬tion of innocence", pas. 8 UU no.4 th. 2004), "exceptio non adimpleti contractus" (tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi, pas. 1266 KUHPerd), "audie et alteram partem" (kedua belah pihak harus didengar, pas. 5 ayat 1 UU no. 4 th. 2004), "actin Paulina" (pas. 1341 KUHPerd). Pasal-pasal 1338, 1977 KUHPerd. dan 23 AB mengandung asas-asas hukum juga.
Meskipun ada asas hukum yang dituangkan dalam bentuk per¬aturan konkrit, namun sebagai asas hukum yang bersifat abstrak, sekalipun telah dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, tidak dapat secara langsung diterapkan kepada peristiwa konkrit.
Asas hukum itu sifatnya umum, tidak hanya berlaku bagi satu peristiwa khusus tertentu saja. Oleh karena bersifat umum, maka asas hukum itu membuka kemungkinan penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian-pengecualian. Sesuatu yang umum sifatnya selalu mem¬buka kemungkinan penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian¬-pengecualian. Karena penyimpangan-penyimpangan atau pengecua¬lian-pengecualian itulah maka ketentuan umumnya mempunyai kedudukan yang kuat, dibenarkan ("de uitzonderingen bevestigen de regel). Dengan adanya kemungkinan penyimpangan atau pengecuali¬an itu maka sistem hukumnya luwes, tidak kaku.
Dapatlah dibayangkan kalau tidak dimungkinkan adanya pengecualian atau penyimpangan maka sistem hukumnya akan kaku. Ada asas yang berbunyi "lex superior derogat legs inferiors", yang berarti bahwa peraturan hukum yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan hukum yang lebih rendah, apabila terjadi konflik. Di dalam PP no. 45 tahun 1990 ada ketentuan yang bertentangan dengan UU no. 1 tahun 1974, tetapi dalam praktek ternyata UU no. I tahun 1974 dikalahkan oleh PP no. 45 tahun 1990. Menurut asasnya maka undang-undanglah yang harus dimenangkan kalau terjadi konflik antara undang-undang dengan peraturan pemerintah. Di sini kepas¬tian hukum harus mengalah terhadap kepentingan yang lebih luhur. Tidak jarang terjadi konflik antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kalau kita terlalu berpegang pada kepastian hukum, maka keadilan atau kemanfaatannya dikorbankan. Kalau kita terlalu berpegang pada kemanfaatan, maka keadilan dan kepastian hukum¬nya dikorbankan dan begitu selanjutnya.
Asas hukum pada umumnya bersifat dinamis, berkembang mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat : "historisch bestimmt".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar